BELAJAR DARI KEKALAHAN DAN KEGAGALAN


Saat-saat sulit tidak akan bertahan lama… Hanya orang-orang yang tangguh dan kuatlah yang tetap bertahan, dan Anda adalah orang yang kuat dan tangguh itu. ~

Siapa sih orangnya di dunia ini yang sempurna tidak pernah mengalami kegagalan satu kali pun? Tidak ada seorang pun yang telah mencapai kesuksesan yang belum pernah bertemu dengan suatu bentuk kegagalan yang sebanding dengan kesuksesannya. Tidak ada seorang penemu di dunia ini yang belum pernah mengalami kegagalan dalam percobaannya. Tidak ada seorang pahlawan yang belum pernah terluka dalam pertempurannya. Tidak ada orang besar yang jadi legenda yang belum pernah merasakan pahit getirnya hidup.

Memang pada umumnya kekalahan atau kegagalan itu menyakitkan pada awalnya. Tapi bukan berarti kegagalan itu buruk bagi kita, kecuali kita menerima kegagalan itu sebagai kekalahan dan menghentikan langkah kita. Hanya dari kekalahan dan kegagalanlah kita diberi kesempatan untuk belajar dari kehidupan, dan kita dipaksa untuk mempelajari diri kita sendiri.

Kegagalan adalah satu bahasa yang digunakan oleh alam untuk berbicara kepada makhluk hidup untuk menunjukkan kesalahan. Dengan kegagalan kita menjadi rendah hati sehingga dapat memperoleh kebijaksanaan dan pengertian. Kita harus menyadari bahwa titik balik ketika kita mulai mencapai kesuksesan/kejayaan, biasanya ditandai oleh suatu bentuk kekalahan atau kegagalan. ~ Napoleon Hill.

Di sekolah, kalau kita salah biasanya kita akan dihukum. Namun di dunia nyata, ketika kita bekerja atau merintis usaha, sering kita melakukan kesalahan-kesalahan pada awalnya, dan setelah melalui proses perbaikan diri, kita menjadi semakin baik. Dengan belajar dari kesalahan-kesalahan kita, kita jadi tahu mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Kita menjadi tahu standar kinerja yang baik dan kiat-kiat untuk maju. Begitu juga dengan kegagalan, dengan mengalami kekalahan atau kegagalan, kita akan menemukan sifat pemikiran kita dalam hubungannya dengan pencapaian tujuan kita. Kita akan melipatgandakan upaya untuk pencapaian tujuan kita denga perbaikan diri yang terus-menerus. Dengan ditempa berbagai kegagalan, jiwa kita menjadi kokoh sekuat baja.

Sahabat, jangan takut menghadapi kegagalan! Apapun bentuk kegagalan kita, besar atau kecil, percayalah ada pelajaran yang dapat kita ambil dari itu semua agar kita menjadi lebih dewasa dan bijaksana, sehingga lebih berhati-hati dalam langkah berikutnya. Jangan anggap kegagalan sebagai kekalahan, tapi jadikan kegagalan membuat kita memodifikasi reaksi dan strategi untuk terus berusaha mencapai tujuan, mengubah nasib buruk menjadi nasib baik.

Hidup kita ini bergerak dinamis, tidak hitam putih seperti televisi jaman dahulu. Tidak ada orang yang bersedih terus-menerus, kecuali pikirannya memang hanya bisa memikirkan kesedihan. Tidak ada juga orang yang hidupnya senang, gembira atau bahagia sepanjang waktu. Demikian juga, tidak ada orang yang gagal dan kalah seterusnya, kecuali ia berhenti mencoba. Suka dan duka silih berganti, kalah dan menang dipergilirkan.

Orang yang tidak pernah gagal, sekali ia terjatuh, biasanya ia akan masuk ke dalam lubang yang amat dalam, terasa amat menyakitkan dan sulit untuk bangkit kembali. Tapi dengan kegagalan, kita bangkit, mencoba lagi dan lagi untuk kemudian berhasil; demikian seterusnya. Dan ketika kesulitan datang lagi, kita telah menjadi lebih siap, lebih bijaksana dan rendah hati. Jika kita menerima kegagalan sebagai ilham untuk berusaha lagi dengan tekad dan keyakinan yang diperbarui, maka mencapai kesuksesan hanyalah persoalan waktu belaka. Seperti kata pepatah, “Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda”.

Selalu ingat, Anda adalah orang yang tangguh dan kuat itu…

KUHP, Santet, Zina


KUHP, Santet, Zina

oleh: J.E. Sahetapy

The important thing is not thinking correctly, but acting rightly.

- David K. Clark & Norman L. Geisler -



Akhir-akhir ini, media massa menyiarkan berita bertalian dengan esensi judul tersebut di atas yang dilansir oleh pejabat dari Kuningan. Tanggapan dari dan melalui media massa dari pelbagai pakar hukum, politisi dan kaum awam macam-macam. Maklumlah, berita dari Kuningan itu tidak jelas motivasinya,

kecuali mungkin bertalian dengan mencari popularitas murah menjelang Pemilu 2004. Sebab bagaimanapun DPR-RI terlalu 'sibuk' dengan pelbagai perundangan dan waktu serta suasana menjelang Pemilu 2004 tidak memungkinkan untuk dibahas RUU

KUHP. Lagi pula kalau akan dibahas, jelas membutuhkan waktu yang panjang atau lama; mungkin setelah Pemilu 2004.

Tulisan ini dimaksud untuk meluruskan berita dari Kuningan dan hendak mengklarifikasi berita yang tidak jelas ujung pangkal, apalagi pejabat dari Kuningan menyangkutpautkan nama saya, padahal, kata orang Belanda, "hij heeft geen kaas der van gegeten". Dengan perkataan lain, pejabat itu, untuk meminjam ungkapan anak muda sekarang yaitu 'asbun'. Mengapa demikian? Ibarat pepatah Belanda sekali lagi: "hij heeft wel de klok horen luiden, maar weet niet waar de klepel hangt". Dengan perkataan lain, ia diberi penjelasan oleh pembantunya yang ternyata juga 'asbun'.

Beberapa waktu yang lalu, seorang kyai politisi berseloroh sambil bergurau demikian: "seorang politisi selalu berbohong, asal tidak diketahui". Selanjutnya ditambahkannya, seorang ilmuwan bisa saja salah, tetapi tidak mau berbohong. Hal itu berlaku secara 'mutatis mutandis' juga untuk tulisan ini. Di kandang serigala di Senayan saya tidak pernah mau meninggalkan pola pikir kampus. Fakta berbicara untuk dirinya sendiri dalam konteks tersebut di atas.

Bahkan seorang dosen yang kini berkiprah di dunia politik berbisik bahwa seorang pejabat oleh para mahasiswanya diejek, karena pejabat tersebut berpretensi pakar spesialis. Spesialisasinya apa, kendati ia berpretensi tujuh mata kuliah diajarinya. Pusing juga tujuh keliling mendengar obrolannya. Sebetulnya ia patut diberi kualifikasi 'spesialimum' kata para mahasiswa dari dosen politisi tadi. Apa artinya itu? Ia sebetulnya, kata dosen politisi tadi, bukan spesialis, tetapi cuma 'pakar umum'.

Ketika para pejabat di Kuningan belum berkuasa, para pakar dan saya sudah lama sekali terlibat dalam penyiapan penyusunan kembali RUU KUHP. Terakhir kali saya dilibatkan 10 (sepuluh) -- ulangi 10 (sepuluh) -- tahun yang lampau, ketika konsep RUU - KUHP diserahkan kepada Menteri Ismail Saleh. Sejak itu, baik di waktu Menteri Muladi dan Menteri-menteri di kemudian hari, saya sama sekali tidak disangkutpautkan lagi. Jadi dari mana 'insinuasi' bahwa saya yang menyusun RUU - KUHP. Lagi pula ada tim penyusun dan bukan satu orang seperti yang sengaja 'difitnah'. Lagi pula saya bukan ketua timnya. Ketika almarhum Prof. Sudarto jadi ketua Tim RUU KUHP, saya dapat tugas ke Belanda untuk mengkaji usul saya agar RUU KUHP cukup terdiri dari 2 (dua) buku saja, yaitu yang umum Buku I, dan Buku II yang hanya memuat kejahatan. Buku III yang memuat pelanggaran digabung beberapa pasal yang relevan ke dalam Buku II. Di Belanda saya disambut agak sinis. Mengapa harus dibikin cuma 2 (dua) buku! Dengan santai saya jawab: "mengapa Code Penal dari Perancis yang 4 (empat) buku dijadikan cuma 3 (tiga) buku oleh Belanda". Kemudian saya beri penjelasan panjang lebar dari segi kriminologi, viktimologi dan tentu dari segi keilmuan dan secara yuridis.

Akhirnya Prof. Schaffmeister dan Prof. Keyzer yang diperbantukan oleh Badan Kerjasama Indonesia - Belanda pada waktu itu setuju, demikian pula usul saya agar tidak lagi dibedakan antara 'doodslag' (Pasal 338) dan 'moord' (Pasal 340) juga dapat difahami. Tetapi mitra kerja di Indonesia dengan susah payah dapat diyakinkan.
Sebagai promotor dari Lokollo yang menulis tentang pidana denda, oleh Prof. Mardjono Reksodiputro pada waktu itu diusul agar dipertimbangkan gagasan W.v.S. Nederland untuk diikuti. Juga sekaligus gagasan pidana minimum agar bisa diterapkan.

Perdebatan seru terjadi ketika membahas gagasan 'santet'. Kebetulan pada waktu itu terjadi banyak pembunuhan bertalian dengan santet di Jawa Timur. Saya termasuk orang yang menentang gagasan santet sebagai suatu delik. Selain berupa kemunduran berpikir ke abad pertengahan di Eropa dan sulit pembuktian tetapi gagasan santet dari Prof. Barda Nawawi yang didukung Prof. Muladi, akhirnya dimasukkan juga dalam bentuk delik formal. Saya masih ingat betul agar dicantumkan 'pro memorie' bertalian dengan sikap penolakan saya bertalian dengan santet. Lagi pula kalau santet itu ampuh, mengapa para koruptor tidak disantet saja. Saya agak heran dan bertanya-tanya apa sesungguhnya maksud dari Menteri Yusril dalam majalah Forum dengan mengatakan: "lo, yang menyusun KUHP Prof. Dr. J.E. Sahetapy, yang beragama Kristen ... Dan sekali lagi, yang menyusun KUHP ini adalah Prof. Dr. J.E. Sahetapy yang orang Kristen. Dia orang Kristen, bukan orang Islam. Kenapa dia susun seperti itu, saya pikir, Sahetapy benar." (Forum Keadilan, No.25, 26 Oktober 2003).

Betapa dangkal sikap dan pemikiran Menteri Yusril. Saya orang Indonesia dan bukan orang Kristen. Agama yang saya imani memang Kristiani. Tetapi apa relevansinya. Sebagai Guru Besar yang profesional pada waktu itu dan hingga sekarang, sikap dan pemikiran saya adalah yuridis profesional yang didukung oleh pola pikir kriminologis dan viktimologis. Tidak ada sangkut paut dengan agama dan keyakinan iman saya. BASTA!

Saya sama sekali tidak habis pikir bahwa orang dengan gelar Profesor yang notabene menteri, memiliki pola pikir yang rancu. Jangan-jangan dengan merujuk pada seloroh kiyai politisi itu Menteri Yusril adalah 'Dr. Jekyll and Mr. Hyde'. Bahkan sampai sekarang di kandang serigala, saya tetap berpikir profesional dalam menghadapi pejabat yang 'spesialimum'. Saya berpikir, apakah dalam alam globalisasi dan modern ini, apakah masih ada raison d'etre' untuk 'santet'. Kalau memang santet ampuh, kenapa para elit politik dan para pejabat yang korup tidak disantet saja, daripada susah-susah dengan membentuk TPTPK. Secara kriminologis dan viktimologis, percaya pada santet adalah 'absurd'. Demikian pula dengan zina secara 'mutatis mutandis'. Kalau zina dijadikan delik, saya kuatir banyak orang, termasuk para pejabat akan dijerat dan penjara dari Sabang sampai Merauke tidak cukup untuk menampung mereka semua. Secara kriminologis masih harus dikaji apakah zina inklusif 'adultery', 'fornication' dan atau 'prostitution'. Dari segi iman Kristiani, jangankan berzina, melihat perempuan dan terangsang hawa nafsu, itupun berzina. Padahal, orang tidak bisa dihukum hanya karena berpikir jahat. Untuk itu masih perlu 'actus reus'. Bukankah adagium hukum pidana secara jelas menyatakan: "actus non facit reum, nisi mens sit rea" alias "an act does not make a person guilty, unless his mind is guilty". Doktrin ini kini dikalahkan oleh dapat dipidananya korporasi. Sejak Ismail Saleh, kemudian Muladi, Lopa dan Yusril, saya tidak pernahdilibatkan lagi dalam RUU KUHP. Jika saya masih dipakai dan terpilih lagi sebagai anggota DPR 2004, hendaknya agama siapapun jangan disangkutpautkan. Kalau mengkaji RUU KUHP, yang perlu dicermati adalah 'scale of social values' dalam arti luas. Perdebatan dengan rujukan religiositas boleh-boleh saja, tetapi bukan secara substantif, sebab negara RI bukan negara agama.


Sumber( komisihukum.go.id)






Penegakan Hukum

PENEGAKAN HUKUM


Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau darui sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.


Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tatapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan “Law enforcement” ke dalam bahasa indonesia dalam menggunakan perkataan “Penegakan Hukum” dalam arti luas dapat pula digunakan istilah “Penegakan Peraturan” dalam arti sempit. Pembedaan antara formalita aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah “the rule of law” atau dalam istilah “ the rule of law and not of a man” versus istilah “ the rule by law” yang berarti “the rule of man by law” Dalam istilah “ the rule of law” terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah “ the rule of just law”. Dalam istilah “the rule of law and not of man”, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah “the rule by law” yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.


Dengan uraian diatas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu, pembahasan kita tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri batas-batasnya Apakah kita akan membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan hukum itu, baik dari segi subyeknya maupun obyeknya atau kita batasi haya membahas hal-hal tertentu saja, misalnya hanya menelaah aspek-aspek subyektif saja. Makalah ini memang sengaja dibuat untuk memberikan gambaran saja mengenai keseluruhan aspek yang terkait dengan tema penegakan hukum itu.


PENEGAKAN HUKUM OBYEKTIF


Seperti disebut di muka, secara obyektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup Pengertian hukum formal dan hukum materiil. Hukum formal hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materiil mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara pengertian penegakan hukum dengan penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian pengertian “law enfocement” dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti hukum materil, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa Inggris juga terkadang dibedakan antara konsepsi “court of law” dalam arti pengadilan hukum dan “court of justice” atau pengadilan keadilan. Bahkan dengan semangat yang sama pula, Mahkamah Agung di Amerika serikat disebut dengan istilah “Supreme Court of Justice”.


Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan sendiri, melainkan nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya. Memang ada doktrin yang membedakan antara tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata. Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan bukti formil belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materil yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materil untuk mewujudkan keadilan materiil. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun perdata. Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisikan penegakan keadilan itu sendiri, sehingga penegakan hukum dan penegakan keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama.


Setiap norma hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subyek hukum dalam lalu lintas hukum. Norma-norma hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang juga dasar dan mendasar. Karena itu, secara akademis, sebenarnya persoalan hak dan kewajiban asasi manusia memang menyangkut konsepsi yang niscaya ada dalam keseimbangan konsep hukum dan keadilan. Dalam setiap hubungan hukum terkandung di dalamnya dimensi hak dan kewajiban secara pararel dan bersilang. Karena itu secara akademis, Hak Asasi manusia mestinya diimbangi dengan kewajiban asasi manusia. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarah, issue hak asasi manusia itu sendiri terkait erat dengan persoalan ketidakadilan yang timbul dalam kaitannya dengan persoalan kekuasaan. Dalam sejarah, kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam dan melalui organ-organ negara, seringkali terbukti melahirkan penindasan dan ketidakadilan. Karena itu, sejarah umat manusia mewariskan gagasan perlindungan da penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Gagasan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia ini bahkan diadopsi ke dalam pemikiran mengenai pembatasan kekuasaan yang kemudian dikenal dengan aliran konstitusionalisme. Aliran konstiotusionalisme inilah yang memberi warna modern terhadap ide-ide demokrasi dan nomokrasi (negara hukum) dalam sejarah, sehingga perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dianggap sebagai ciri utama yang perlu ada dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar pada hukum (Constitutional democracy).


Dengan perkataan lain, issue hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat dengan persoalan penegakan hukum dan keadilan itu sendiri. Karena itu, sebenarnya, tidaklah terlalu tepat untuk mengembangkan istilah penegakan hak asasi manusia secara tersendiri. Lagi pula, pakaha hak asasi manusia dapat ditegakkan?. Bukankah yang ditegakkan itu adalah aturan hukum dan konstitusi yang menjamin hak asasi manusia itu, dan bukannya hak asasi manusia itu sendiri?. Namun, dalam praktek sehari-hari, kita memang sudah salah kaprah. Kita sudah terbiasa menggunakan istilah penegakan “hak asasi manusia “. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak asasi manusia dan kesadaran untuk mengghormati hak-hak asasi orang lain di kalangan kita pun memang belum berkembang secara sehat.


APARATUR PENEGAK HUKUM


Aparatur penegak hukum menncakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa hakim dan petugas-petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.


Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat 3 elemen penting yang mempengaruhi, yaitu:

(i) institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya;

(ii) budaya kerja ytang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan

(iii) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.


Namun, selain ketiga faktor diatas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan hukum di negra kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai negara hukum yang mencita-citakan upata menegakan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatr indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri atau belummencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lai dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaharuan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama, yaitu:

(i) pembuatan hukum (‘the legislation of law atau Law and rule making),

(ii) sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum ( socialization and promulgation of law) dan

(iii) penegakan hukum (the enforcement of law).

Ketiganya membutuhkan dukungan (iv) administrasi hukum (the administration of law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab (accountable). Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut sebagai agenda penting yang keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda tersebut diatas. Dalam arti luas, The administration of law itu mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat dipersoalkan sejauhmana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum yang ada selama ini telah sikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusan-keputusan administrasi negara(beschikings), ataupun penetapan dan putusan (vonius) hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah. Jika sistem administrasinya tidak jelas, bagaimana mungkin akses masyarakat luas terhadap aneka bentuk produk hukum tersebut dapat terbuka?. Jika akses tidak ada, bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat dapat taat pada aturan yang tidak diketahuinya?. Meskipun ada teori “fiktie” yang diakui sebagai doktrin hukum yang bersifat universal, hukum juga perlu difungsikan sebagai sarana pendidikan dan pembaruan masyarakat (social reform), dan karena itu ketidak tahuan masyarakat akan hukum tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosial dan pembudayaan hukum secara sistematis dan bersengaja.

 (solusihukum.com)