KUHP, Santet, Zina


KUHP, Santet, Zina

oleh: J.E. Sahetapy

The important thing is not thinking correctly, but acting rightly.

- David K. Clark & Norman L. Geisler -



Akhir-akhir ini, media massa menyiarkan berita bertalian dengan esensi judul tersebut di atas yang dilansir oleh pejabat dari Kuningan. Tanggapan dari dan melalui media massa dari pelbagai pakar hukum, politisi dan kaum awam macam-macam. Maklumlah, berita dari Kuningan itu tidak jelas motivasinya,

kecuali mungkin bertalian dengan mencari popularitas murah menjelang Pemilu 2004. Sebab bagaimanapun DPR-RI terlalu 'sibuk' dengan pelbagai perundangan dan waktu serta suasana menjelang Pemilu 2004 tidak memungkinkan untuk dibahas RUU

KUHP. Lagi pula kalau akan dibahas, jelas membutuhkan waktu yang panjang atau lama; mungkin setelah Pemilu 2004.

Tulisan ini dimaksud untuk meluruskan berita dari Kuningan dan hendak mengklarifikasi berita yang tidak jelas ujung pangkal, apalagi pejabat dari Kuningan menyangkutpautkan nama saya, padahal, kata orang Belanda, "hij heeft geen kaas der van gegeten". Dengan perkataan lain, pejabat itu, untuk meminjam ungkapan anak muda sekarang yaitu 'asbun'. Mengapa demikian? Ibarat pepatah Belanda sekali lagi: "hij heeft wel de klok horen luiden, maar weet niet waar de klepel hangt". Dengan perkataan lain, ia diberi penjelasan oleh pembantunya yang ternyata juga 'asbun'.

Beberapa waktu yang lalu, seorang kyai politisi berseloroh sambil bergurau demikian: "seorang politisi selalu berbohong, asal tidak diketahui". Selanjutnya ditambahkannya, seorang ilmuwan bisa saja salah, tetapi tidak mau berbohong. Hal itu berlaku secara 'mutatis mutandis' juga untuk tulisan ini. Di kandang serigala di Senayan saya tidak pernah mau meninggalkan pola pikir kampus. Fakta berbicara untuk dirinya sendiri dalam konteks tersebut di atas.

Bahkan seorang dosen yang kini berkiprah di dunia politik berbisik bahwa seorang pejabat oleh para mahasiswanya diejek, karena pejabat tersebut berpretensi pakar spesialis. Spesialisasinya apa, kendati ia berpretensi tujuh mata kuliah diajarinya. Pusing juga tujuh keliling mendengar obrolannya. Sebetulnya ia patut diberi kualifikasi 'spesialimum' kata para mahasiswa dari dosen politisi tadi. Apa artinya itu? Ia sebetulnya, kata dosen politisi tadi, bukan spesialis, tetapi cuma 'pakar umum'.

Ketika para pejabat di Kuningan belum berkuasa, para pakar dan saya sudah lama sekali terlibat dalam penyiapan penyusunan kembali RUU KUHP. Terakhir kali saya dilibatkan 10 (sepuluh) -- ulangi 10 (sepuluh) -- tahun yang lampau, ketika konsep RUU - KUHP diserahkan kepada Menteri Ismail Saleh. Sejak itu, baik di waktu Menteri Muladi dan Menteri-menteri di kemudian hari, saya sama sekali tidak disangkutpautkan lagi. Jadi dari mana 'insinuasi' bahwa saya yang menyusun RUU - KUHP. Lagi pula ada tim penyusun dan bukan satu orang seperti yang sengaja 'difitnah'. Lagi pula saya bukan ketua timnya. Ketika almarhum Prof. Sudarto jadi ketua Tim RUU KUHP, saya dapat tugas ke Belanda untuk mengkaji usul saya agar RUU KUHP cukup terdiri dari 2 (dua) buku saja, yaitu yang umum Buku I, dan Buku II yang hanya memuat kejahatan. Buku III yang memuat pelanggaran digabung beberapa pasal yang relevan ke dalam Buku II. Di Belanda saya disambut agak sinis. Mengapa harus dibikin cuma 2 (dua) buku! Dengan santai saya jawab: "mengapa Code Penal dari Perancis yang 4 (empat) buku dijadikan cuma 3 (tiga) buku oleh Belanda". Kemudian saya beri penjelasan panjang lebar dari segi kriminologi, viktimologi dan tentu dari segi keilmuan dan secara yuridis.

Akhirnya Prof. Schaffmeister dan Prof. Keyzer yang diperbantukan oleh Badan Kerjasama Indonesia - Belanda pada waktu itu setuju, demikian pula usul saya agar tidak lagi dibedakan antara 'doodslag' (Pasal 338) dan 'moord' (Pasal 340) juga dapat difahami. Tetapi mitra kerja di Indonesia dengan susah payah dapat diyakinkan.
Sebagai promotor dari Lokollo yang menulis tentang pidana denda, oleh Prof. Mardjono Reksodiputro pada waktu itu diusul agar dipertimbangkan gagasan W.v.S. Nederland untuk diikuti. Juga sekaligus gagasan pidana minimum agar bisa diterapkan.

Perdebatan seru terjadi ketika membahas gagasan 'santet'. Kebetulan pada waktu itu terjadi banyak pembunuhan bertalian dengan santet di Jawa Timur. Saya termasuk orang yang menentang gagasan santet sebagai suatu delik. Selain berupa kemunduran berpikir ke abad pertengahan di Eropa dan sulit pembuktian tetapi gagasan santet dari Prof. Barda Nawawi yang didukung Prof. Muladi, akhirnya dimasukkan juga dalam bentuk delik formal. Saya masih ingat betul agar dicantumkan 'pro memorie' bertalian dengan sikap penolakan saya bertalian dengan santet. Lagi pula kalau santet itu ampuh, mengapa para koruptor tidak disantet saja. Saya agak heran dan bertanya-tanya apa sesungguhnya maksud dari Menteri Yusril dalam majalah Forum dengan mengatakan: "lo, yang menyusun KUHP Prof. Dr. J.E. Sahetapy, yang beragama Kristen ... Dan sekali lagi, yang menyusun KUHP ini adalah Prof. Dr. J.E. Sahetapy yang orang Kristen. Dia orang Kristen, bukan orang Islam. Kenapa dia susun seperti itu, saya pikir, Sahetapy benar." (Forum Keadilan, No.25, 26 Oktober 2003).

Betapa dangkal sikap dan pemikiran Menteri Yusril. Saya orang Indonesia dan bukan orang Kristen. Agama yang saya imani memang Kristiani. Tetapi apa relevansinya. Sebagai Guru Besar yang profesional pada waktu itu dan hingga sekarang, sikap dan pemikiran saya adalah yuridis profesional yang didukung oleh pola pikir kriminologis dan viktimologis. Tidak ada sangkut paut dengan agama dan keyakinan iman saya. BASTA!

Saya sama sekali tidak habis pikir bahwa orang dengan gelar Profesor yang notabene menteri, memiliki pola pikir yang rancu. Jangan-jangan dengan merujuk pada seloroh kiyai politisi itu Menteri Yusril adalah 'Dr. Jekyll and Mr. Hyde'. Bahkan sampai sekarang di kandang serigala, saya tetap berpikir profesional dalam menghadapi pejabat yang 'spesialimum'. Saya berpikir, apakah dalam alam globalisasi dan modern ini, apakah masih ada raison d'etre' untuk 'santet'. Kalau memang santet ampuh, kenapa para elit politik dan para pejabat yang korup tidak disantet saja, daripada susah-susah dengan membentuk TPTPK. Secara kriminologis dan viktimologis, percaya pada santet adalah 'absurd'. Demikian pula dengan zina secara 'mutatis mutandis'. Kalau zina dijadikan delik, saya kuatir banyak orang, termasuk para pejabat akan dijerat dan penjara dari Sabang sampai Merauke tidak cukup untuk menampung mereka semua. Secara kriminologis masih harus dikaji apakah zina inklusif 'adultery', 'fornication' dan atau 'prostitution'. Dari segi iman Kristiani, jangankan berzina, melihat perempuan dan terangsang hawa nafsu, itupun berzina. Padahal, orang tidak bisa dihukum hanya karena berpikir jahat. Untuk itu masih perlu 'actus reus'. Bukankah adagium hukum pidana secara jelas menyatakan: "actus non facit reum, nisi mens sit rea" alias "an act does not make a person guilty, unless his mind is guilty". Doktrin ini kini dikalahkan oleh dapat dipidananya korporasi. Sejak Ismail Saleh, kemudian Muladi, Lopa dan Yusril, saya tidak pernahdilibatkan lagi dalam RUU KUHP. Jika saya masih dipakai dan terpilih lagi sebagai anggota DPR 2004, hendaknya agama siapapun jangan disangkutpautkan. Kalau mengkaji RUU KUHP, yang perlu dicermati adalah 'scale of social values' dalam arti luas. Perdebatan dengan rujukan religiositas boleh-boleh saja, tetapi bukan secara substantif, sebab negara RI bukan negara agama.


Sumber( komisihukum.go.id)






Tidak ada komentar: