Sanksi Pidana Bagi Pemberi Sedekah di Jakarta


Perda Ketertiban Umum DKI Jakarta yang baru memuat ancaman pidana bagi masyarakat yang memberi sedekah kepada pengemis dan membeli dari pedagang asongan. Sebagian kalangan menyambut Perda itu dengan kritik karena dinilai justru dapat menjatuhkan wibawa hukum.

Keberadaan pengamen, gelandangan dan pengemis (gepeng) di tempat-tempat umum tampaknya membuat jengah pemerintah pusat maupun di daerah. Berbagai upaya untuk menekan keberadaan gepeng pun dilakukan mulai dari menciduk gepeng yang berkeliaran di tempat umum hingga melakukan operasi yustisi kependudukan kepada masyarakat yang tidak memiliki kartu pengenal.

Pemerintah daerah pun mencoba membuat 'terobosan' kebijakan. Contohnya adalah Pemda DKI Jakarta. Setelah disepakati dengan DPRD DKI Jakarta di dalam rapat paripurna yang berlangsung Senin (10/9), Pemda DKI pun menetapkan Peraturan Daerah (Perda) baru tentang Ketertiban Umum untuk menggantikan ketentuan yang lawas, Perda Nomor 11 Tahun 1988.

Salah satu 'terobosan' yang diatur dalam Perda baru yang belum bernomor ini adalah mengenai larangan kepada masyarakat untuk membeli sesuatu dari pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang kepada pengemis, pengamen dan pengelap mobil. Larangan ini termaktub dalam Pasal 40 huruf c Perda itu.

Larangan dalam ketentuan itu tidak main-main, ancaman sanksi sudah menunggu. Pasal 61 Ayat (1) mencantumkan ancaman sanksi terhadap pelanggar setiap orang yang nekat melanggar larangan itu. Yaitu kurungan selama 10 hingga 60 hari, atau denda antara Rp100 ribu hingga Rp20 juta.

Saat dihubungi melalui telepon (11/9), Jornal Effendi Siahaan, Kepala Biro Hukum Pemprov DKI Jakarta menjelaskan mengenai fenomena umum dimana masyarakat cenderung membiarkan keberadaan gepeng. “Bahkan tak jarang juga masyarakat yang memberikan sedekah kepada pengemis di jalanan yang notabene adalah tempat umum,” kata Jornal.

Kondisi tersebut, menurut Jornal, malah tidak mendidik gepeng. “Sebaliknya, dengan terus memberikan sedekah, malah membuat pengemis semakin tergantung. Ujung-ujungnya, mereka akan menjadikan kegiatan mengemis sebagai mata pencahariaannya.,” tambahnya. Jika demikian, target pemerintah untuk mengurangi angka gepeng menjadi mustahil untuk diwujudkan.

Selain itu, Jakarta sebagai ibu kota dimana peredaran uang dan perokonomian terpusat, memiliki magnet tersendiri dalam menarik gepeng. “Apalagi ini menjelang Ramadhan. Seperti pengalaman yang sudah-sudah, hampir dipastikan membludaknya jumlah gelandangan dan pengemis di Jakarta. Ini akan menimbulkan masalah sosial lainnya jika tidak ditangani,” tambahnya.

Kondisi ini menurutnya akan berbahaya manakala 'profesi' pengemis dijadikan sebagai komoditas bagi segelintir orang untuk memanfaatkan orang yang lemah secara ekonomi. Jornal lantas membeberkan fenomena gepeng gadungan dan sindikat pengorganisir gepeng. “Tidak jarang gepeng yang ada di jalanan itu adalah korban sindikasi pengorganisir gepeng. Ini lebih berbahaya lagi karena terjadi eksploitasi terhadap rakyat kecil,” ungkap Jornal.

Atas dasar pertimbangan itu, masih menurut Jornal, larangan dalam Pasal 40 huruf c itu dihadirkan di dalam Perda. “Pilihan untuk mengkriminalisasikan pemberi sedekah itu kita ambil sebagai salah satu upaya untuk memberantas mental mengemis yang sudah menjangkiti masyarakat kita,” tuturnya.

Dihubungi terpisah, pengamat Kebijakan Publik Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago menyatakan pada prinsipnya ia sepakat dengan tujuan Perda yang bermaksud untuk mewujudkan suasana perkotaan yang kondusif, aman, nyaman dan tertib.

Hanya saja Andri, demikian ia lazim disapa, mengingatkan Pemda untuk menyiapkan aparat penegak hukum dan kelengkapan peraturan teknis dari Perda itu. “Karena kalau dua hal itu tidak dipikirkan secara matang-matang, maka Perda itu tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan bukan tidak mungkin terjadi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh aparat penegak hukum karena hanya digunakan sebagai alat represif,” tuturnya.

Menurut Andri, masalah sosial seperti ini, tidak bisa diselesaikan hanya dengan untaian kata yang terdiri dari huruf mati yang terdapat di dalam peraturan perundangan. Ia menambahkan selain peraturan yang bersifat represif, Pemda juga harus membuat sebuah kebijakan yang sifatnya preventif dan juga yang berisikan solusi. “Pemda harus mengeluarkan itu semua dalam satu paket kebijakan untuk mengurangi angka gepeng.”

Lebih jauh Andri mencontohkan Pemda Makassar yang lebih mengedepankan upaya preventif. “Di berbagai sudut di Makasar, terdapat sejumlah spanduk yang memberi peringatan kepada masyarakat untuk tidak memberikan uang kepada gepeng, karena hanya melanggengkan keberadaan gepeng. Tidak ada ancaman sanksi bagi pelanggarnya,” Andri berujar. Hasilnya ternyata cukup efektif dalam menghambat laju pertumbuhan gepeng di kota itu.

Taufik Basari sependapat dengan Andri. Direktur Bantuan Hukum dan Advokasi YLBHI ini menilai Perda itu merupakan contoh kebijakan pemerintah yang tidak populer. “Seharusnya yang lebih penting dipikirkan Pemda adalah bagaimana caranya agar keberadaan gepeng tidak dianggap sebagai sebuah penyakit sosial yang harus diberangus,” kata Tobas, demikian ia biasa disapa.

Konsekuensinya, lanjut Tobas, Pemda harus segera memikirkan program pembangunan yang lebih kooperatif bagi keberadaan gepeng. “Selama ini gepeng cenderung mendapatkan perlakukan yang diskriminatif, terutama dalam hal mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Karenanya pemerintah harus segera membuat sebuah program dimana gepeng dapat berkompetisi secara fair,” ungkapnya.

Jatuhkan wibawa hukum

Sementara, pengajar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran Yesmil Anwar menyesalkan rencana pengkriminalisasian terhadap pemberi sedekah. Sanksi pidana berupa kurungan dan denda, kata Yesmil, menjadi tidak sinkron dengan prinsip hukum pidana sebagai ultimum remedium alias senjata pamungkas. “Ada beberapa hal dimana penjatuhan sanksi pidana menjadi tidak tepat. Apalagi kalau sifatnya pelanggaran terhadap Perda,” ujar Yesmil.

Lebih jauh Yesmil mengatakan, pada prinsipnya tidak semua masalah sosial seperti fenomena gepeng bisa diselesaikan oleh norma hukum positif. “Jika salah dalam meletakkan dasar sosiologis dan filosofis dari suatu peraturan, bisa jadi malah menjatuhkan wibawa hukum,” kata Yesmil yang juga seorang kriminolog.

Yesmil lantas mencontohkan Perda tentang larangan merokok di tempat umum yang diberlakukan di Jakarta. Ketidakcermatan penyusun Perda dalam melihat faktor sudah membudayanya merokok di seluruh struktur lapisan masyarakat, akhirnya membikin implementasi Perda itu tidak efektif. “Bagaimana mau menegakkannya (Perda, red), wong masyarakat sudah terbiasa merokok. Ironisnya, aparat penegak hukumnya pun sambil merokok di lapangan. Jangan-jangan pejabatnya juga sambil merokok di ruang sidang ketika membahas Perda itu,” selorohnya. Walhasil, sambung Yesmil, disinilah awal ambruknya wibawa hukum.

Kecaman terhadap Perda itu juga datang dari Saldi Isra. Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas ini malah menilai Perda itu sebagai sebuah upaya mencuci tangan dan 'potong kompas' untuk menyelesaikan masalah gepeng di perkotaan. “Padahal dalam konstitusi kan jelas tugas negaralah yang memelihara kaum miskin dan anak terlantar. Karena pemerintah tidak memelihara dengan baik, maka munculah fenomena gepeng. Ini yang tidak pernah dipikirkan pemerintah untuk mencari solusi pemecahannya,” tandasnya.

Menanggapi kritikan itu, Jornal dengan tegas menjawab, “Justru wibawa hukum menjadi semakin terinjak-injak ketika ada sebuah peraturan yang memuat larangan-larangan tanpa adanya sanksi. Lagi pula karakteristik masyarakat kita baru jera ketika sudah terkena sanksi.” Kendati demikian, Jornal berjanji memberikan semacam sosialisasi maupun himbauan langsung kepada masyarakat sebelum mengefektifkan sanksi pidana di dalam Perda itu.(www.hukumonline.com)

Tidak ada komentar: